JAKARTA – Nyamuk ber-Wolbachia mendadak menjadi pusat perhatian masyarakat dalam beberapa bulan terakhir. Nyamuk Wolbachia sendiri merupakan salah satu program Kementerian Kesehatan untuk mencegah wabah demam berdarah.
Secara keseluruhan, frekuensi demam berdarah tercatat 28,45 per 100 ribu penduduk dan frekuensi kematian 0,73 per 100 ribu penduduk. Kasus-kasus ini terutama terjadi pada orang berusia 5-14 tahun.
Namun sayangnya, terdapat penolakan terhadap program tersebut, khususnya di Bali. Mari kita lanjutkan menelusuri artikel lengkapnya di bawah ini.
Tak hanya itu, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadela Sapari juga menyoroti inovasi teknologi tersebut.
Gara-gara inovasi teknologi tersebut, Menteri Kesehatan Bodi Gunadi Sadekan dipanggil 20 organisasi terkait Wolbachia.
Bagaimana isu Wolbachia bisa begitu ramai diperbincangkan, khususnya di akhir tahun 2023? Berikut rangkuman perjalanan Wolabachia melalui Rsia Bunda SejatiREPLAY 2023.
November 2023 Kementerian Kesehatan diketahui menerapkan teknologi pengusir nyamuk dengan bakteri wolbachia. Sebelumnya, teknologi ini telah diterapkan di Yogyakarta pada tahun 2016. Melalui program ini
Pada tahun 2016, nyamuk Wolbachia menyebar ke seluruh kota Yogyakarta, kata Andang Srirahio, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Andang menjelaskan, nyamuk ber-Wolbachia saat itu tidak hanya menyebar di kawasan Kotaade. Saat itu, kawasan Kottaade dibandingkan dengan kawasan lain yang terjangkit nyamuk Wolbachia.
Andang menjelaskan, ia mengakui pemanfaatan nyamuk ber-Wolbachia untuk mengobati penyakit demam berdarah di Kota Yogyakarta berhasil menurunkan angka kasus DBD. Andang mencatat penurunan kasus mencapai 77 persen.
“Nyamuk Wolbachia terbukti mampu menurunkan angka kasus demam berdarah hingga 77 persen di Kota Yogyakarta. Telah menurunkan jumlah rumah sakit atau kasus DBD hingga 86 persen,” kata Andang, Rabu, 22 November. kata Andang pada Rabu, 22 November 2023 di Kantor Wali Kota Yogyakarta.
Sedangkan dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada 28 November 2023.
Menteri Kesehatan Bodi Gunadi Sadekan menjelaskan Wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat pada tubuh banyak serangga seperti lalat buah, kupu-kupu, dan serangga.
Wolbachia tidak dapat bertahan hidup di luar sel cacing karena tidak mempunyai mekanisme untuk mereplikasi dirinya sendiri tanpa bantuan cacing sebagai inangnya.
Selain tidak mampu bertahan hidup di lingkungan di luar sel inang, Wolbachia tidak dapat menular ke serangga lain atau manusia, dan Wolbachia belum direkayasa secara genetik oleh para ilmuwan.
“Itu (aksi Wolbachia) terjadi di Yogya dan kita senang karena metodenya ilmiah, terorganisir, dan sistematis. Bakteri Wolbachia juga ada di nyamuk, jadi tidak perlu dilakukan, ”ujarnya. Komisi DPRRI Rapat dengar pendapat IX terkait penerapan Wolbachia di Gedung DPR, kata Menkes Bodi.
Bakteri wolbachia menghambat pertumbuhan virus demam berdarah di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Artinya nyamuk pembawa wolbachia akan berkurang kemampuannya dalam menularkan virus ke manusia.
Apabila nyamuk Aedes aegypti berkembang biak dengan Wolbachia pada suatu populasi nyamuk maka kasus DBD akan menurun. Cara perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti penghasil Wolbachia antara lain:
Jika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia, maka telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia.
Jika nyamuk jantan tanpa Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia, maka telurnya akan menetas dan menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia.
Jika nyamuk jantan berwolbachia kawin dengan nyamuk betina tanpa wolbachia maka telurnya tidak akan menetas.
Untuk proses pendistribusiannya, satu ember berisi 250 – 300 butir telur nyamuk, dengan tingkat penetasan ±90%. Jumlah nyamuk yang akan disebar adalah 10% dari populasi nyamuk di wilayah tersebut.
Seksi tersebut dilaksanakan sebanyak 12 kali. Artinya ± 2-3 nyamuk/m2 dilepaskan setiap dua minggu dan dilakukan sebanyak 12 kali.
Menteri Kesehatan Budi mengatakan, teknologi nyamuk ber-Wolbachia sudah diteliti sejak lama. Dalam penelitiannya, peneliti melaksanakan seluruh langkah dan tidak mengabaikan prosesnya.
Hasil studi Wolbachia Application for the Elimination of Dengue (AWED) tahun 2017-2020 menunjukkan bahwa setelah pelepasan nyamuk pembawa Wolbachia, kasus DBD turun hingga 77%.
“Hasil kajian AWED sangat jelas, sekali Wolbachia menyebar maka DBD berkurang. Jadi secara statistik, ilmiah, faktual sudah jelas,” kata Menkes Bodi. Makanya Kementerian Kesehatan yakin kami akan menerapkannya (Wolbachia).
Dijelaskan Menkes saat itu, Kemenkes awalnya melaksanakan program Wolbachia di 5 kota yaitu Semarang, Bandung, Jakarta Barat, Bontang, Kupang, dan terakhir di Denpasar yang akan disederhanakan.
Pemilihan daerah didasarkan pada analisis prevalensi DBD, kepadatan penduduk, keterwakilan daerah, dan komitmen kepala daerah.
Ditolak di Bali
Program pengendalian demam berdarah dengue (DBD) dengan metode penularan nyamuk Wolbachia telah dimulai di beberapa negara bagian, termasuk Bali. Sayangnya, program yang digagas Kementerian Kesehatan di Pulau Dewata itu ditolak.
Pj Gubernur Balisang Mahendra Jaya menolak keras pilot project pendistribusian 200 juta telur nyamuk Wolbachia yang rencananya akan disebar di Kota Bali, Denpasar, dan Sangaraja.
Namun sayangnya, Mahendra Jaya tidak menjelaskan alasan penolakan tersebut secara ilmiah. Ditegaskannya, alasan penolakan hanya karena pilot project penyebaran telur nyamuk Wolbachia tidak disosialisasikan ke masyarakat luas sehingga banyak terjadi penolakan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Dr. Maxi-Ren Rondonovu pun mengomentari penolakan tersebut.
Menurutnya, sosialisasi mengenai nyamuk Wolbachia di Bali masih kurang.
Selain itu, menurut Maxey, program nyamuk Wolbachia ditangani oleh satu donor sehingga kurang koordinasi antara dinas dan lapangan. Terkait penipuan yang beredar, Maxey mengatakan, Kementerian Kesehatan akan terus berupaya memberikan informasi yang baik dan akurat.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadela Sapari memberikan pencerahan tentang Wolbachia.
Siti Fadilah Supari juga bercerita tentang inovasi teknologi nyamuk Wolbachia. Di channel YouTube-nya, ia bercerita tentang program perkembangbiakan nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia yang meresahkan para pemerhati lingkungan.
Seorang perempuan yang tersangkut kasus korupsi terkait pembelian alat kesehatan untuk mengatasi krisis Kementerian Kesehatan menceritakan bagaimana nyamuk yang digunakan adalah nyamuk yang dapat menyebarkan demam chikungunya dan demam berdarah Zika.
Nyamuk yang digunakan adalah Aedes aegypti, sejenis nyamuk yang bisa menularkan penyakit demam berdarah. Bisa juga menularkan chikungunya. Chikungunya dan demam berdarah bisa menular dari subuh hingga senja, tapi Zika juga bisa menular dari Aedes aegypti. Saat malam. Menurut klaim mereka, nyamuk tersebut telah direkayasa genetika dan disuntik Wolbachia sehingga tidak lagi membawa virus demam berdarah dan tidak lagi membawa virus Zika,” ujarnya.
Ia menjelaskan betapa khawatirnya para pemerhati lingkungan dengan apa yang terjadi saat ini, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia yang bisa berdampak jangka panjang.
“Efek jangka panjangnya apa? Saya belum menjawabnya, karena setiap penelitian yang melibatkan gene nudging, gene nudging adalah kesalahan yang belum kita ketahui saat ini, kita tinggal dua hingga 10 tahun dari sekarang. Anda bisa membedakannya,” kata Siti Fadela Sapari.
Lalu, para ahli ekologi, tahukah Anda bahwa nyamuk adalah bagian dari rantai ekologi yang terjadi di dunia ini dan biasanya Tuhan menciptakan keseimbangan, lanjutnya.
“Kenapa nyamuk dimusnahkan seperti itu dan direkayasa genetika seperti itu, karena memang direkayasa,” katanya, “karena dengan rekayasa genetika dan Wolbachia, mereka juga mengklaim seperti itu.” Menkes Bodi berbagi upaya peningkatan deteksi kasus tuberkulosis pada Sidang Dewan Indonesia (STP) Berbagi pengalaman Indonesia dalam pencegahan tuberkulosis (TB) di Brasilia Dibagikan oleh Rsia Bunda Sejati 12 Februari 2024